Dampak Sosial Kenaikan Harga BBM
Dalam perspektif apa pun, kenaikan harga BBM selalu mendatangkan cerita
buruk. Karena, trend kenaikan BBM selalu memberi effect domino atau mulltiplier
effect terhadap berbagai kebutuhan dasar masyarakat. Dampak turunan yang paling
besar adalah naiknya harga kebutuhan pokok, diikuti oleh kenaikan tarif dasar
listrik (TDL), transportasi, dan harga-harga lainnya.
Memilih menaikkan harga BBM, seperti memakan buah simalakama - tidak makan
salah, dan makan pun salah. Jika harga BBM tak dinaikkan, beban negara akan
semakin berat, aktivitas pembangunan pun akan terhambat. Rasionalisasi
penyehatan atau penyelamatan APBN pun selalu menjadi tameng yang ampuh untuk
menaikkan harga BBM.
Sebaliknya, jika harga BBM dinaikkan, APBN akan kuat, lewat pendapatan
negara yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Namun, hal ini tidak akan
berarti apa pun, jika mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup di bawah garis
kemiskinan (terancam dibatasi subsidi). Selain pengangguran menggila, rakyat
tidak mendapatkan pelayanan sosial (social service) yang baik, jaminan sosial
(social Insurance) berkualitas, akses pendidikan dan kesehatan yang murah dan
berkualitas, serta proteksi terhadap sandang-pangan-papan yang memadai.
Kompensasi
Pemerintah memang menyiapkan skema kompensasi berharga dalam RAPBN-P 2012
sebagai alat peredam jika harga BBM dinaikkan. Namun, dari keempat paket
kompensasi tersebut hanya beasiswa pendidikan untuk masyarakat miskin saja yang
dianggap sebagai program yang agak cerdas.
Selain itu, form kompensasi seperti pembagian bantuan langsung tunai (BLT)
yang berubah menjadi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), hanyalah
program pengulangan yang banyak dikritik masyarakat. Program tersebut sejauh
ini dinilai gagal, karena penyalurannya banyak yang tidak tepat pada sasaran
masyarakat miskin. Program BLT hanya membuat orang miskin semakin miskin,
akibat mentalnya juga dimiskinkan oleh program filantropi dadakan.
Dana jangka pendek BLT yang berbentuk charity program hanyalah menjerat
orang miskin dalam kemalasan pasif, hingga kemiskinan absolut (poverty of
absolute) akan menjadi budaya terus menerus. Walaupun hasil survey LSI tentang
BBM, BLT, dan efek elektoral, baru-baru ini menunjukan bahwa sebanyak 69,64
persen atau 440 responden di seluruh Indonesia menyukai BLT, namun program ini
tidak harus dikapitalisasikan sebagai pemadam kebakaran secara jangka panjang,
karena berpotensi dipolitisasikan.
Kompensasi berikutnya dalam bentuk subsidi untuk transportasi agar sektor
ini tidak terlalu terpukul dengan kenaikan harga BBM, hanya menguntungkan para
pengusaha angkutan itu sendiri. Pasalnya, subsidi angkutan yang dilakukan oleh
pemerintah hanya tertuju pada suku cadang kendaraan dan pajak kendaraan, bukan
subsidi bahan bakar minyak, yang selama ini menjadi alasan para sopir angkutan
untuk meminta menaikan tarif angkutan.
Bukankah yang menjadi instrumen utama penggerak mobil angkutan adalah BBM
yang harganya sepenuhnya ditanggung oleh para sopir angkutan, dan bukan para
pengusaha angkutan yang bermain pada suku cadang mobil? Jika harga BBM naik,
maka otomatis pengeluaran sopir angkutan untuk memenuhi kebutuhan BBM (bensin
dan solar) juga meningkat. Praktis pendapatan mereka harus berkurang, karena
telah dipotong untuk mengisi tangki kendaraan, ditambah sharing income dengan
bos pemilik mobil angkutan, yang besarannya sudah pasti lebih besar untuk si
pemilik.
Itulah sebabnya, subsidi suku cadang dan pajak kendaraan tidaklah menyentuh
aspek substantif peningkatan beban transportasi dalam kenaikan BBM. Malah
membebani para sopir angkutan, dengan beban setoran yang baru. Seharusnya
pemerintah melakukan subsidi khusus untuk mobil angkutan, dengan cara
mensubsidi silang pendapatan pembelian BBM dari mobil pribadi ke harga BBM
mobil angkutan, dengan kontrol yang ketat. Sehingga fair, dan tak ada lagi
keluhan tentang pengguna BBM bersubsidi adalah 70% orang kaya pemilik mobil
pribadi.
Tentang subsidi untuk meningkatkan jumlah beras untuk orang miskin
(raskin), adalah format bantuan yang terkesan akal-akalan. Pasalnya, penyebab
kenaikan harga beras di pasaran disebabkan turunnya produksi beras dari para
petani, lahan pertanian yang semakin sempit, dan infrastruktur pertanian yang
tidak memadai, serta kurangnya keberpihakan pemerintah pada petani dalam bentuk
kebijakan. Petani selalu merugi dengan kebijakan impor beras yang selama ini
terus-menerus dilakukan oleh pemerintah sehingga mematikan produksi pertanian
nasional.
Nah, yang harus disubsidi bukanlah rakyat miskin untuk mendapatkan beras, namun
petanilah yang harus disubsidi dalam bentuk kebijakan peningkatan produksi
pertanian, pengurangan impor, pembangunan infrastruktur, dan proteksi harga
gabah di pasaran. Sehingga, terjadi surplus produksi beras nasional dengan
harga yang terjangkau, dan semua rakyat bisa merasakannya. Bukannya
meningkatkan pasokan beras kepada rakyat miskin yang ujung-ujungnya berasal
dari beras impor, dan menguntungkan pengusaha importer beras.
Paket subsidi terakhir dengan format peningkatan pemberian beasiswa bagi rakyat
miskin, lebih baik dialokasikan untuk memperbaiki ratusan sekolah yang rusak di
Tanah Air dan membangun sekolah murah dan berkualitas. Sebab, membangun
sekolah-sekolah baru yang murah, berkualitas, akan memudahkan para anak jalanan
yang miskin dan kurang mampu memiliki kesempatan yang sama dalam bersekolah.
Oleh karena itu, paket kompensasi kenaikan harga BBM jangan sampai
menimbulkan dampak sosial yang baru di tengah masyarakat. Subsidi harus terus
dilakukan, dengan program yang cerdas, tepat sasaran dan berjangka panjang. ***
Sumber :
Analisis :
Saya setuju dengan artikel ini, karena
dampak yang sangat dirasakan adalah rakyak miskin, seperti pepatah yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Mengapa demikian ?. karna dengan
kenaikan BBM ini sudah pasti harga komoditi pasar meningkat, sedangkan orang
miskin dengan kebutuhan hidupnya sangat terbatas sekali bahkan tidak tercukupi,
apalagi dengan adanya kenaikan harga BBM. Walaupun pemerintah menggalakan BLSM
atau BLT. Banyak sekali orang kaya yang mengambil hak orang miskin, dan tidak
sedikit pun menyesali perbuatannya. Mobil-mobil mewah serta mobil pejabat pun
tidak malu mengisi bahan bakar nya yang disubsidi pemerintah yang seharusnya
itu bukan hak dia.
Pemerintah juga harus meminimalkan
kebijakan import pangan yang berlebihan. Kita adalah negara agraris, mampu
mengelola kebutuhan pangan masyarakat diIndonesia. Harus diberi sanksi tegas
pimpinan-pimpinan yang memakan uang rakyat. Beras, sayuran ataupun lauk pauk
yang dihasilkan oleh petani lokal tidak kalah murahnya kalau para distribusinya
tidak menekan keuntungan yang banyak. Kita memang kalah dalam bidang industri
maka dari itu makanan yang dihasilkan oleh petani lokal menjadi mahal, tetapi
kalau kita tidak import sama saja kita membantu mereka dalam penghasilan
pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar